Cerita Tentang Kebesaran Allah: Berkali-kali naik Haji Tidak Bisa Melihat Ka'ba

Sabtu, 05 April 2014

Berkali-kali naik Haji Tidak Bisa Melihat Ka'ba






Sebagai seorang anak yang berbakti kepada
orang tuanya, Hasan (bukan nama
sebenarnya), mengajak ibunya untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima.
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang
Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu.
Sebagai muslim yang mampu secara materi,
mereka memang berkewajiban menunaikan
ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan.
Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya
berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya
sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba
harinya mereka melakukan thawaf dengan
hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah,
Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik,
aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik,
“Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah
Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan
empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya
yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia
terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak
melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak
bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah
ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri
tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat
apapun selain kegelapan. beberapakali ia
mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang
tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan
matanya. Beberapa menit yang lalu ia masih
melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa
memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi
gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang sholeh
itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat
memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu
sedih. Siapapun yang datang ke Baitullah,
mengharap rahmatNYA. Terasa hampa
menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan
segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan
kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan
ibadah dan taubatnya yang sungguh-
sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan
anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak.
Anak yang saleh itu berniat akan kembali
membawa ibunya berhaji tahun depan.
Ternyata nasib baik belum berpihak
kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang
lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat
Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan
bangunan yang merupakan symbol persatuan
umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat
Ka’bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali
membawa ibunya ke tanah suci tahun
berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat
Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang
tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap.
Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri
Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai
tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa
yang menyebabkan ibunya menjadi buta di
depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh
dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia
bertanya-tanya, apakah ibunya punya
kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah
SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya,
sehingga mendapat musibah seperti itu ?
Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya.
Akhirnya diputuskannya untuk mencari
seorang alim ulama, yang dapat membantu
permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada
seorang ulama yang terkenal karena
kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi
(Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan
dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama
yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan
dengan seksama, kemudian meminta agar
Ibu dari hasan mau menelponnya. anak yang
berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah
kelahirannya, ia meminta ibunya untuk
menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut.
Beruntung, sang Ibu mau memenuhi
permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon
ulama itu, dan menceritakan kembali
peristiwa yang dialaminya di tanah suci.
Ulama itu kemudian meminta Sarah
introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada
perbuatan atau peristiwa yang terjadi
padanya di masa lalu, sehingga ia tidak
mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk
bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur,
apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya,
karena masalah Anda bukan masalah sepele,”
kata ulama itu pada Sarah.
Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta
waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari
berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat
kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah
percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah
menelpon. “Ustad, waktu masih muda, saya
bekerja sebagai perawat di rumah sakit,”
cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan
perawat adalah pekerjaan mulia,” potong
ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-
banyaknya dengan berbagai cara, tidak
peduli, apakah cara saya itu halal atau
haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu
terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu
akan berkata demikian.
“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali
menukar bayi, karena tidak semua ibu senang
dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada
yang menginginkan anak laki-laki, padahal
bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan
imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai
dengan keinginan mereka.”
Ulama tersebut amat terkejut mendengar
penjelasan Sarah.
“Astagfirullah……” betapa tega wanita itu
menyakiti hati para ibu yang diberi amanah
Allah untuk melahirkan anak. bayangkan,
betapa banyak keluarga yang telah
dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam
menjaga nasab atau keturunan sangat
penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya
menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat
menentukan dalam perkawinan, terutama
dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu
orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma itu ? tanya ulama terperangah.
“Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu
dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga
yang sudah Anda hancurkan !”. ucap ulama
dengan nada tinggi.
“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya
ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas
memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata
ulama.
“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena
ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.
“Setiap saya bermaksud menyengsarakan
orang, baik membuatnya mati atau sakit,
segala perkakas sihir itu sesuai dengan
syaratnya, harus dipendam di dalam tanah.
Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam
tanah, melainkan saya masukkan benda-
benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal
dunia. Seperti biasa, saya memasukkan
berbagai barang-barang tenung seperti
jarum, benang dan lain-lain ke dalam
mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu
seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun
saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-
benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi
begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya,
emosi saya memuncak, saya masukkan benda
itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa
yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan
tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya
Allah….!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya
angkat tangan”.
Ulama itu amat sangat terkejutnya
mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah
terbayang dalam hidupnya ada seorang
manusia, apalagi ia adalah wanita, yang
memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak
pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita
yang melakukan perbuatan sekeji itu.
Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus
memohon ampun kepada Allah, karena hanya
Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama,
sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak
mendengar kabar selanjutnya dari Sarah.
Akhirnya ia mencari tahu dengan
menghubunginya melalui telepon. Ia
berharap Sarah telah bertobat atas segala
yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah
akan mengampuni dosa Sarah, sehingga
Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak
juga memperoleh kabar, ulama itu
menghubungi keluarga Hasan di mesir.
Kebetulan yang menerima telepon adalah
Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar
Sarah, ternyata kabar duka yang diterima
ulama itu.
“Ummi sudah meninggal dua hari setelah
menelpon ustad,” ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?”.
tanya ulama itu.
Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah
menelpon sang ulama, dua hari kemudian
ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang
mengejutkan adalah peristiwa penguburan
Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk
kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah,
tanah itu rapat kembali, tertutup dan
mengeras. Para penggali mencari lokasi lain
untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali.
Tanah yang sudah digali kembali menyempit
dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung
begitu cepat, sehingga tidak seorangpun
pengantar jenazah yang menyadari bahwa
tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi
berulang-ulang. Para pengantar yang
menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan
merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka
yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan
dengan perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur
putus asa dan kecapaian karena pekerjaan
mereka tak juga usai. Siangpun berlalu,
petang menjelang, bahkan sampai hampir
maghrib, tidak ada satupun lubang yang
berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan
beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja
tergeletak di hamparan tanah kering
kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat
kepada ibunya, Hasan tidak tega
meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat
itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang,
rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di
tanah perkuburan seorang diri.
Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang
laki-laki yang berpakaian hitam panjang,
seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu
tidak tampak wajahnya, karena terhalang
tutup kepalanya yang menjorok ke depan.
Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian
berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah
ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang
tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan
menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur
mau menggali lubang untuk kemudian
mengebumikan ibunya.
“Aku minta supaya kau jangan menengok ke
belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan
lelaki itu.
Hasan mengangguk, kemudian ia
meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia
di luar lokasi pemakaman, terbersit
keinginannya untuk mengetahui apa yang
terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang.
Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah
ibunya sudah dililit api, kemudian api itu
menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum
habis rasa herannya, sedetik kemudian dari
arah yang berlawanan, api menerpa wajah
Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langkah
seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat
itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada
ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa
separuh wajahnya yang tertampar api itu kini
berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama
itu mendengarkan dengan seksama semua
cerita yang diungkapkan Hasan. Ia
menyarankan, agar Hasan segera beribadah
dengan khusyuk dan meminta ampun atas
segala perbuatan atau dosa-dosa yang
pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi,
ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan,
apa yang telah diceritakan oleh ibunya
kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila
anak yang soleh itu memohon ampun dengan
sungguh-sungguh, maka bekas luka di
pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar
saja, tak berapa lama kemudian Hasan
kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya
yang dulu amat terasa sakit dan panas luar
biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang.
Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya
selama hidup, Hasan tetap mendoakan
ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa
yang telah dilakukan oleh ibunya, akan
diampuni oleh Allah SWT. Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat berharga bagi kami